Kompas.com - Bullying atau penggunaan
kekuasaan untuk menyakiti seseorang banyak terjadi di lingkungan
sekolah. Perbuatan pemaksaan atau kekerasan ini berdampak negatif bukan
hanya pada orang yang menjadi korban tapi juga pelakunya. Bahkan bisa
memicu keinginan bunuh diri pada anak.
Dalam penelitian di Inggris terungkap anak-anak yang terus menerus di-bully
beresiko enam kali lipat untuk berpikir bunuh diri dibandingkan dengan
anak lain. Pikiran untuk bunuh diri itu kerap muncul saat mereka berusia
11 tahun.
Penelitian yang dimuat dalam Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry ini dilakukan dengan menganalisa 6.000 anak berusia 4-10 tahun. Rata-rata anak yang menjadi korban dan pelaku bullying memiliki pikiran bunuh diri di usia 11-12 tahun.
Perbuatan bullying
bisa berupa tindakan memukul, mendorong, mengejek, mengancam,
menjuluki, meneror, menyebarkan desas-desus, mendiskriminasi, dan
sebagainya. Selain melalui tatap muka, aksi bullying juga bisa melalui email atau media sosial yang berisi pesan-pesan yang menyinggung perasaan orang lain.
Selain
merasa malu, sedih, dan takut, korban juga bisa memiliki perasaan
rendah diri dan tidak berharga. Dampak psikologis yang lebih berat
adalah kecemasan dan keinginan bunuh diri karena mereka tidak tahu harus
meminta tolong kepada siapa, atau karena merasa malu.
Karena korban bullying
kerap tidak meminta bantuan, orangtua harus lebih jeli memperhatikan
sikap anak. Perilaku menghindari sekolah, terutama karena alasan yang
tidak spesifik seperti sakit kepala atau sakit perut. Waspadai pula
perubahan perilaku yang dialaminya seperti penurunan prestasi akademik,
sulit tidur, dan tampak gelisah.